Setiap orang memiliki setidaknya satu daftar barang hilang yang menunggu untuk ditemukan. Rindu untuk diakui, dianggap pernah hadir dalam hidupmu.
Aku pikir di dunia seperti itulah aku hidup- di antara barang-barang hilangmu yang lain. Selembar catatan kumal tersembunyi di kedalaman laci atau foto tua terjepit entah di mana di antaranya halaman-halaman buku. Aku berharap suatu hari kelak kau menemukanku dan mengingat aku pernah berarti bagimu. –Lang Leav
Atas nama penggalan puisi di atas yang mengantarkan soreku
ke another gloomy series, teruntuk semua kenalan, sahabat, teman dan mungkin
keluarga, kadang aku rela menjadi barang yang hilang untuk sekedar bisa kau cari dan
berharap ingin kau temukan.
Karena di waktu kemarin, kita pernah sama-sama
membingkai senyum terbaik. Pernah ada waktu-waktu manis.
Untuk semua cerita yang belum sempat kau bagi, dan sapa yang
tak kunjung hinggap. Untuk sekedar gelagar tawa yang tak lagi kita temui.
Sejujurnya, aku rindu.
Aku tidak pernah sejauh itu. Temui aku di lacimu, atau di
sudut-sudut tempat tidurmu. Atau mungkin sedekat kontak di ponselmu.
Maaf untuk beberapa keegoisan, atau mungkin salah di masa
lalu. Aku mungkin teman yang sulit mengolah emosi di masa mudanya dulu.
Saat menulis ini, aku teringat perempuan ini.
Kadis, atau yang dulu kusapa akrab dengan “Ge”
Ge, I miss our old time
Our chit-chat
Our stupidness
Our Laugh
Our arguement
I miss ours.
Time flies, I might no longer your best friend in your life
because my mistake and stupidness. But, My dearest, Ge, you always be best
friend I ever had.
With love, Gege.
Ditulis sambil mendengarkan lagunya Monita-Hai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar